5 Rahasia Mengapa Storytelling Mampu Menarik Perhatian Audiens

Menurut National Storytelling Network, Storytelling adalah sebuah bentuk seni tradisional dan bentuk ekspresi manusia yang berharga. Dalam bahasa Indonesia, Storytelling bisa diartikan sebagai “mendongeng”. Kegiatan mendongeng bisa berarti luas. Namun, yang dimaksud sebagian besar orang dengan mendongeng adalah seni interaktif menggunakan kata-kata atau tindakan untuk mengungkapkan elemen dan gambar dari suatu cerita, sambil mendorong imajinasi pendengar.

Dewasa ini, aktivitas storytelling dan storytellers tidak hanya ditemukan di sudut-sudut kota saja tetapi di medium lainnya seperti surat kabar, buku, televisi, drama musikal, film, bahkan blog di internet. Yang jelas, storytelling adalah salah satu kegiatan yang dapat menghibur orang-orang sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum adanya budaya menulis.

Storytelling
Image © Len Cabral Storyteller

Nah, apa saja rahasia storytelling sehingga mampu menarik perhatian audiens? Inilah lima di antaranya:

1. Storytelling mempunyai beragam tujuan jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang

Tidak hanya sekadar menghibur, ternyata storytelling mempunyai banyak tujuan mulia. Tujuan-tujuan tersebut di antaranya adalah:

  • Menghibur sekaligus menciptakan suasana menyenangkan
  • Menambah wawasan audiens
  • Memberikan pengalaman baru termasuk masalah kehidupan
  • Menambah kosa kata audiens
  • Melatih daya tangkap dan konsentrasi audiens
  • Mengembangkan pikiran dan imajinasi audiens
  • Menyampaikan pesan moral
  • Menananmkan nilai-nilai budi pekerti yang berguna di kehidupan

2. Storytelling memiliki struktur umum yang jelas sehingga audiens mudah mengikuti alurnya

Kisah yang diutarakan oleh storyteller bisa jadi merupakan kisah turun-temurun yang tidak diketahui sumber tertulisnya. Akan tetapi, setiap cerita setidaknya memiliki tiga plot penting yaitu orientation, complication, dan resolution. Oleh karena itu, naskah storytelling juga bisa disebut narrative text karena memang apa yang dibicarakan dan cara membahasnya serupa.

Perbedaannya mungkin hanya terletak dari cara pendongeng menceritakan kembali kisah dalam narrative text tersebut. Tentu saja, dia tidak akan menyampaikan persis sama seperti teks karena akan terasa membosankan.

Kembali ke struktur umum, orientation pada storytelling terdiri dari informasi umum seperti what, who, where, dan when. Ini biasanya ada di paragraf pertama dalam narrative text.

Kemudian, paragraf setelah itu disebut complication. Tujuannya adalah menceritakan alur-alur penting dan umumnya berisi masalah-masalah yang dialami oleh para tokoh.

Cerita tidak berakhir begitu saja. Tentunya, ada semacam usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Untuk itulah, bagian terakhir dari sebuah narrative text dinamakan resolution. Sebuah cerita bisa jadi diselesaikan dengan cara menyenangkan, menyedihkan, atau bahkan menggantung.

3. Storyteller harus memiliki setidaknya enam keahlian

Keahlian yang dimaksud adalah kontak mata dengan audiens, mimik wajah mendukung, gerak tubuh yang menggambarkan jalan cerita, suara yang merefleksikan cerita, tempo bercerita yang sesuai audiens, serta alat peraga pendukung yang menarik. Keenam hal ini harus dikuasai pendongeng agar sukses menyampaikan cerita kepada audiens.

a.) Kontak mata

Dengan melakukan kontak mata dengan audiens, mereka merasa diperhatikan dan masuk menjadi bagian cerita. Pendongeng juga bisa melihat apakah audiens menyimak cerita, bingung, bosan, dsb.

b.) Mimik wajah

Ekspresi wajah pendongeng hendaknya sesuai dengan alur cerita. Apabila dia sedang menceritakan hal yang menyedihkan, ekspresi wajahnya haruslah sedih atau bersimpati agar dapat menunjang hidup tidaknya sebuah cerita yang disampaikan.

c.) Gerak tubuh

Apabila gerak tubuh pendongeng tidak sesuai cerita atau tidak menarik audiens, audiens bisa merasa ada jarak antara cerita dan pendongeng serta lama-kelamaan merasa bosan.

d.) Suara

Intonasi suara dapat menggaris bawahi bagian-bagian cerita yang penting. Seorang pendongeng yang ahli pada esensinya adalah seorang dalang, mampu menirukan berbagai timbre suara hingga suara binatang dan benda-benda.

e.) Tempo

Kecepatan atau tempo saat bercerita sangat menentukan apakah audiens dapat menangkap cerita atau tidak. Apabila audiensnya adalah anak-anak, sebaiknya cerita disampaikan dalam tempo lebih lambat daripada apabila audiensnya orang dewasa tetapi jangan terlalu lambat. Tujuannya, agar anak-anak tidak bingung atau bosan.

f.) Alat peraga

Untuk menarik minat audiens, pendongeng bisa memanfaatkan alat peraga. Gambar-gambar, boneka, hingga kostum hewan bisa digunakan untuk merangsang rasa ingin tahu anak-anak, misalnya.

4. Storytelling mengajak audiens berimajinasi

Di media apa pun dalam bentuk apa pun, sebuah cerita selalu memiliki tujuan untuk mengajak audiens berimajinasi. Audiens secara aktif menciptakan gambar, tindakan, karakter, dan alur peristiwa, dalam pikirannya. Kisah yang lengkap terjadi dalam pikiran pendengar. Maka dari itu, setiap pendengar kisah memiliki cerita yang unik dan dipersonalisasi.

5. Storytelling bersifat interaktif

Storytelling melibatkan interaksi dua arah antara pendongeng dan satu atau lebih pendengar. Respons para pendengar memengaruhi penuturan cerita. Bahkan, storytelling muncul dari interaksi dan kerja sama antara pendongeng dan audiens. Penerapan konsep ini mudah dilihat pada saat pendongeng menceritakan kisah kepada anak kecil. Pada suatu waktu, si Kecil mungkin menyela cerita untuk bertanya bahkan mengubah alur cerita. Selama esensi cerita masih sama, pendongeng yang baik biasanya membiarkan audiensnya untuk berkreasi menambah atau mengurangi rincian cerita.

Demikianlah 5 Rahasia Mengapa Storytelling Mampu Menarik Perhatian Audiens. Apakah kamu sudah paham? Layangkan tanggapan kamu di kolom komentar.

Kamu mungkin juga suka :


Ada pertanyaan? Silahkan tulis di kolom komentar!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan lupa centang bagian bawah agar mendapatkan notifikasi kalau pertanyaanmu sudah kami balas.