Perbedaan Cerita Fiksi dan Non-fiksi & Asal Usulnya

Fiction adalah karya literatur berbentuk prosa, terutama cerita pendek (cerpen) dan novel, yang mendeskripsikan kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh imajiner. Karena itulah, fiction juga disebut cerita rekaan.

Cerita rekaan dipercaya telah ada sejak zaman dahulu kala, tepatnya pada Abad Pertengahan (Middle Ages). Studi mengungkapkan bahwa para nenek moyang dahulu memiliki ide untuk membukukan beragam kisah.

Fiksi Non Fiksi
© Pixabay

“Pada abad Pertengahan, buku dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif dan berwibawa. Orang-orang secara otomatis berasumsi bahwa apa pun yang ditulis dalam buku adalah sebuah kebenaran,” kata Profesor Lars Bojen Mortensen dari Institut  Sejarah dan Peradaban di University of Southern Denmark dalam buku Medieval Narratives between History and Fiction.

Pada saat itu, orang awam kebanyakan hanya tahu tentang Alkitab yang mereka yakini bisa mengatakan kebenaran tentang dunia. Fenomena buku-buku yang penuh dengan cerita palsu pertama kali muncul pada abad ke-12. Orang-orang sangat terkejut bahwa tidak semua hal yang tertulis di dalam buku benar adanya.

Lambat laun, mulai dari abad ke-12 hingga akhir abad ke-12, buku sudah tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang sangat religius. Orang-orang sudah mulai bisa membedakan buku manakah yang berisi fakta dan mana yang berisi cerita rekaan.

Kemudian, pustakawan mulai memilah-milah antara buku fiksi dan nonfiksi. Dua jenis buku yang sangat berbeda ini ditempatkan di tempat yang terpisah. Meskipun topik yang diangkat sama, misalnya topik “orang kerdil”, jika mereka berada di bagian berbeda (satu di bagian fiksi, lainnya di bagian non-fiksi), isi buku akan sangat berbeda.

Buku non-fiksi tentang “orang kerdil” mungkin berisi tentang mengapa ada orang yang terlahir lebih kecil daripada orang normal (misalnya, buku Dwarfism: Medical and Psychosocial Aspects of Profound Short Stature oleh Betty M. Adelson). Sementara itu, buku fiksi tentang “orang kerdil” mungkin bercerita tentang perjalanan mereka menjelajahi dunia imajiner (misalnya, buku Lord of the Rings karangan J. R. R. Tolkien).

Dalam dunia fiksi, pengarang bisa menetapkan hukum-hukum, fenomena-fenomena alam, dan dunia-dunia sesuai keinginannya. Jika, misalnya, Tolkien menetapkan “orang kerdil” sebagai suatu ras yang berbeda dengan “orang normal”, pembaca tidak akan memprotesnya. Saat kita membaca sebuah fiksi, kita ingin mencari hiburan. Apa yang kita baca mungkin menyimpang dari fakta yang ada. Namun, kita menerimanya sebagai “fakta imajiner” dari dunia dalam novel tersebut.

Ketika kita membaca sebuah fiksi, kita mengiyakan suatu “kontrak imajiner” antara penulis dan pembaca. Apa yang kita baca hanyalah suatu rekaan. Pola pikir (mindset) ini juga berlaku saat kita menikmati berbagai hiburan seperti film, pentas drama, dan pertunjukan musikal.

Kita sering menemukan penafian (disclaimer) seperti contoh berikut di awal karya fiksi:

This is a work of fiction. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events is purely coincidental.

(Cerpen/Novel/Film) ini adalah karya fiksi. Kemiripan dengan nama orang, baik masih hidup maupun sudah meninggal dunia, atau peristiwa aktual adalah murni kebetulan semata.

Penafian seperti itu bertujuan untuk mengingatkan pembaca atau penikmat karya bahwa cerita yang disampaikan karya tersebut tidak nyata. Diharapkan, para penikmat karya tersebut dapat mengapresiasi karya tersebut sesuai kadarnya.


Referensi:

Ebdrup, N. (2012, September 12). The Origin of Fiction. Retrieved from http://sciencenordic.com/origin-fiction/

Friedlander, J. (2017, February 4). Six Copyright Page Disclaimers to Copy and Paste Into Your Book. Retrieved from https://www.thebookdesigner.com/2010/01/6-copyright-page-disclaimers-and-giving-credit/

Kamu mungkin juga suka :


Ada pertanyaan? Silahkan tulis di kolom komentar!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan lupa centang bagian bawah agar mendapatkan notifikasi kalau pertanyaanmu sudah kami balas.